Brunei Darussalam, Seiring dengan perkembangan zaman (era IT), jati diri guru Pendidikan Agama (Islam) terus menjadi perbincangan menarik. Hal tersebut bukan karena pendidikan agama sebagai satu-satunya “pembentuk karakter” peserta didik atau ahli agama, tetapi sering kali “pendidikan agama” diidentikkan dengan sesuatu yg “konservatif”, tekstual dan kurang memberi ruang gerak dalam keterbukaan berfikir.
Demikian disampaikan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dr Fauzan di laman Facebooknya saat melakukan lawatan inisiasi kerja sama akademik dengan Kolej Universiti Perguruan Ugama Seribegawan Brunei Darussalam, Senin (16/10/2017) bersama Rektor UIN Jakarta Prof Dr Dede Rosyada, Wakil Rektor Bidang Kerjasama Prof Dr Murodi, Ketua Pusat Penelitian dan Penerbitan, dan Direktur Madrasah Pembangunan Dr Bahrissalim.
“Cara pandang demikian, tentu akan berimplikasi pada sebuah tawaran “pembelajaran” yang kurang kreatif dan inovatif. Jika dibiarkan, pengajaran atau pendidikan tidak lebih sekedar hanya penyampaian informasi (dakwah) yang tidak memiliki atsar (bekas) apapun,” ujar Fauzan.
Perguruan Tinggi (PT), lanjutnya, wabilkhusus Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK) dan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) yang dianggap sebagai lembaga yang mempunyai mandat melahirkan guru, saat ini perlu melakukan rekonstruksi penyiapan kurikulum pendidikan agama ke depan.
Diuraikannya, tahapan langkah yg bisa dilakukan, pertama, perjelas profiling lulusan. Kedua, pertegas proses pembelajaran (ketepatan dalam memilih model/strategi/metode pembelajaran. Ketiga, perkuat konten materi/bahan ajar, guru agama (minimal) harus kuat referensi klasik (kitab kuning), dan terkahir mampu melakukan penilaian (proses dan hasil) secara baik.
“Oleh karenanya, input (calon mahasiswa) guru agama mestinya harus dibedakan, bahkan perlu ada treatment khusus, misalnya penguatan pada bahasa Arab atau Inggris, kajian al-Turas dan seterusnya,” ujar doktor pendidikan jebolan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2015 itu.
Kalaupun pada ahirnya nanti, sambungnya, “guru agama” harus ada lisensi atau jaminan profesi melalui Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Indonesia (implikasi kebijakan UU No. 14/2005) atau Lanjutan Lepas Ijazah di Brunai Darussalam, tetap saja penguatan konten pedagogik atau teaching skill serta penguasaan materi ajar tetap perlu disiapkan secara matang pada jenjang Sarjana (S1) untuk tingkat Sekolah Dasar/Menengah/Atas. Di Kolej Universiti Perguruan Ugama Sri Begawan (KUPU SB) sendiri penyiapan guru agama tingkat “Aliyah” harus dari lulusan S2.
Ditambahkannya, profesi guru agama memang “unik”, selain karena punya kewajiban menyampaikan materi yang sudah “pasti” dogmatik, tapi pada saat lain, guru agama juga harus terus beradaptasi dengan seabrek kemajuan teknologi informasi yg tidak bisa dibendung lagi.
“Selamat mengembangkan model baru kurikulum pendidikan agama yang lebih baik,” pungkasnya. (Fauzan)